“Demi
Tuhan! Kamu tidak akan percaya apa yang baru saja terjadi.” berondong sahabatku
seperti meriam saja begitu aku buka pintu depan menjawab ketukan tak sabarnya.
“Wah! Gosip
murahan nih? Pasti bagus, kamu belum pernah bergairah seperti ini sejak kamu
tahu kalau anak laki-laki Prambodo seorang gay.”
“Astaga,
Lusi, aku hanya tak bisa percayai apa yang baru saja kulihat.”
Kita
bergerak ke ruang keluarga. Aku duduk di tepi sofa.
“Kamu
kelihatan seperti mau pecah, ceritakan saja.” kataku menertawakan tingkah
lakunya itu.
“Gini, aku
pergi ke tempatnya keluarga Sihombing malam ini untuk menarik uang iuran
mereka. Ternyata, selera mereka pada perabotan rumah sangat buruk. Kemudian,
Silvi keluar untuk membukakan pintu lalu aku masuk. Mereka mempunyai ruang
makan dengan meja yang atasnya kaca. Lalu kita duduk di sana dan aku membuka
dokumen asosiasi untuk menunjukkannya dan mengatakan padanya, kalau mereka bisa
membayar semuanya sekaligus atau empat kali setahun.”
Ini
terdengar menjengkelkan. Aku menyela, “Jadi kamu lihat kalau mereka mempunyai
mebel yang jelek. Sangat penting.”
Sekarang
aku harus menjelaskan. Kita tinggal di sebuah kompleks perumahan yang mempunyai
sebuah asosiasi pemilik rumah. Keluarga Sihombing baru-baru ini pindah
keseberang jalan itu. Siska dan aku berpikiran kalau mereka tidak sesuai di
lingkung perumahan ini. Kebanyakan keluarga di sini berumur pertengahan tiga
puluhan dan telah mempunyai anak. Keluarga Sihombing adalah keluarga yang
suaminya berumur lebih tua dan isterinya jauh sangat muda dan tidak memiliki
anak.
“Lusi, sst.
Bukan mebel yang aku lihat. Silvi memanggil Martin untuk membawa buku chek dan
membayar uang iurannya dan membaca lalu menanda tangani dokumennya. Dan dia
masuk ke dalam dengan memakai jubah mandi putih itu, rambutnya basah, aku pikir
mungkin baru saja keluar dari kamar mandi. Dia duduk di seberangku dan saat dia
mengambil dokumen itu, aku sedang melihat menembus kaca meja ke kakinya.
Kemudian dia maju ke depan untuk menulis cek itu dan jubahnya tersingkap ke
atas. Dia sedang duduk di pinggir kursi dan kamu tahu apa yang sedang
tergantung. Maksudku tergantung. Saat dia bergerak, itu seperti diayunkan
maju-mundur. Tuhan itu seperti pisang daging besar berwarna seperti ini.”
jelasnya sambil menunjuk buah pisang yang ada di atas meja di ruang keluarga
ini.
“Astaga,
kamu melihatnya?”
“Hanya
beberapa detik. Maksudku aku jadi sangat malu.”
“Yah,
benar. Hanya cukup lama untuk menceritakan itu terayun maju-mundur dan besar
seperti pisang”.
Sekarang
kita berdua tertawa genit seperti gadis sekolahan.
“Apa dia
tahu kamu melihatnya? Bagaimana jika Silvi lihat kamu memperhatikan suaminya?
Tapi, itu mungkin tidak sebesar yang kamu pikir, maksudku hanya melihatnya
sebentar kamu jadi merasa malu pasti kamu tidak akan benar-benar mengetahui apa
yang sedang kamu lihat.”
“Temanku,
itu memang besar!”
********
Baiklah,
aku pikir, dimulailah cerita ini.
Sekarang
kamu mungkin memperoleh kesan kalau Siska dan aku adalah sepasang ibu rumah
tangga yang genit. Kamu mungkin berpikir, kalau kita seperti seorang gadis
remaja berumur sekitar lima belas tahun yang sedang menggosip. Aku berumur 38
tapi mungkin mempunyai sedikit pengalaman dibanding putriku yang berumur
enambelas tahun dan para temannya.
Sedikit
latar belakang tentang aku. Aku dijuluki wanita mungil yang cantik. Dengan
postur tubuhku yang kecil, aku dengan mudah akan hilang kalau berada dalam
sebuah kerumunan. Aku harus mengakui menjadi “agak kecil” sering jadi bahan
godaan teman-temanku. Di samping ukuran kecilku, kupikir aku mempunyai wajah
yang manis. Braku hanya berukuran 28A tetapi pada dadaku terlihat cukup besar
dan aku sering dipuji kalau pantat dan kakiku sangat indah. Siska dan aku pergi
dengan rutin ke tempat kebugaran wanita.
Suamiku dan
aku lulus dari sekolah menengah dengan nilai memuaskan, menikah tidak lama
sesudah kita lulus. Kamu pasti sudah mengira itu. Aku tidak pernah mencium orang
lain selain suamiku. Maksudku ciuman serius. Aku tidak menganggap diriku sangat
sopan tetapi aku tidak pernah berkata kotor. Tidak juga saat Tom dan aku sedang
berhubungan seks, yang tak terlalu sering. Gereja bangga akan kami, seks pada
dasarnya adalah bagaimana kamu membuat bayi.
Sekitar
lima belas tahun perkawinan, aku mulai merasa resah dan bosan. Ini bukan
berarti aku tidak mencintai dua anak perempuanku dan Tom. Segalanya sangat
normal. Aku mulai membaca novel roman, dan kemudian akan merasa berdosa tentang
pemikiran pemikiran tidak tulus itu.
Dalam
minggu setelah pertemuan dengan Siska itu, dia dan aku akan kadang-kadang
tertawa genit atas “penglihatanya” akan kemaluan Martin Sihombing (aku masih
tidak katakan hal-hal seperti penis meskipun dengan Siska). Tom dan aku juga
mengenal keluarga Sihombing, hanya percakapan antar tetangga tentang rumput
halaman, cuaca, dan lain lain
Pada bulan
Desember, asosiasi mengadakan sebuah acara makan malam dan dansa sebelum
liburan. Tempat duduknya diatur sesuai dengan urutan rumah. Sehingga keluarga
Sihombing berada di meja yang sama dengan kita. Siska ada pada meja yang
berbeda. Ini adalah pertama kalinya kita berada dengan mereka secara sosial.
Sekarang
aku selalu pikir Martin Sihombing terlihat sangat biasa. Mungkin dalam umur
sekitar limapuluhnya dengan rambut penuh, beruban di beberapa tempat. Dia
sangat jangkung. Ini adalah pertama kalinya aku lihat dia memakai jas, dan aku
harus mengakui dia terlihat juga berbeda. Silvi pada sisi lain, yang selalu
nampak tak peduli dengan pakaiannya terlihat aneh dalam gaun panjangnya, krah
bajunya tinggi.
Makan malam
dilewati dengan percakapan yang menyenangkan dan makanannya sangat enak.
Sesudah makan malam, musik mulai dimainkan dan Martin dan Silvi langsung berada
di lantai dansa itu. Setelah aku sedikit membujuk Tom untuk berdansa tetapi dia
hanya tahu dua gaya dansa. Martin dan Silvi bergabung lagi dengan kami saat
band sedang istirahat sejenak. Saat band kembali, Martin mengajakku untuk
berdansa. Aku mencoba untuk menolaknya, mengatakan kalau Tom dan aku tidak
begitu pandai berdansa. Dia memaksa. Itu adalah sebuah dansa yang cepat dan dia
segera membuatku mengikuti tiap-tiap gerakannya. Lagu berakhir, aku menuju ke
arah kursiku dan kembali mendengar dia mengajakku lagi untuk lagu berikutnya.
“Oh, aku
tidak bisa. Kamu dan Silvi terlalu bagus untukku, berdansalah dengan isterimu.”
“Lusi,
jangan coba menolak. Dia sudah membuat kakiku kecapaian, aku pikir Marty perlu
berganti pasangan dalam tiap lagu.” Silvi berteriak dari mejanya.
Baiklah,
rasa engganku hanya melintas dalam kepalaku tapi aku kembali ke lantai dansa
menikmati Martin yang bergerak di sekelilingku. Lagunya berakhir, dan dia
memegang tanganku dengan enteng ketika lagu berikutnya mulai.
“Ini satu
lagu slow Lusi, kamu gimana dengan waltz?” tanyanya saat dia dengan lembut
menarikku ke dalam posisi dansa. Dia tidak menarikku terlalu rapat, dia
memegangku dengan enteng dan dia meluncur di sekitar lantai itu. Dia adalah
seorang pedansa yang sangat baik. Tanpa menyadari itu, aku ditarik semakin
dekat padanya, tubuhku sedikit menggeseknya. Kepalaku rebah di dadanya,
payudaraku merapat di bagian tengah tubuhnya. Kemudian aku merasakan itu. Itu
keras, itu sedang menekan perutku. Wow! Itu adalah kemaluannya, kemaluannya
yang ereksi. Aku yakin itu.
Aku mundur,
sedikit melompat, hanya refleks. Kamu tidak mau merasakan ereksinya pria asing.
Dia tetap menari seolah-olah tidak ada yang terjadi. Dia tidak lagi menarik aku
mendekat, tidak membuat aku merasa gelisah. Aku mulai meragukan pemikiranku,
itu hanya saja imajinasiku yang berlebihan.
Aku
bersandar padanya lagi. Seperti sebelumnya, payudaraku bersentuhan dengannya,
aku merasakan menggesek tubuhnya. Kemudian perutku juga. Kali ini aku tidak
mundur dengan seketika. Aku hanya ingin pastikan bahwa apa yang sedang aku
rasakan adalah kemaluannya. Aku menggerakkan badanku, menggosok perutku ke dia,
itu terasa keras. Itu memang benar kemaluannya, kemaluannya yang ereksi. “Wow!
Apa yang sedang kulakukan?”, pikirku. Dansa berakhir. Dia tetap memegang
tanganku tapi kali ini aku menarik dia kembali ke meja kami. Sudah cukup. Tidak
ada lagi dansa dengan dia pikirku.
Tidak ada
yang nampak berubah setelah makan malam dan dansa itu. Kita tetap mempunyai
“percakapan antar tetangga” yang sama dengan keluarga Sihombing itu. Aku tidak
menceritakan kepada Siska apa yang telah terjadi. Baiklah, satu hal telah
berubah. Aku menemukan diriku memikirkan tentang dansa itu, tentang Siska yang
melihat penisnya, tentang perasaan payudaraku yang tergesek tubuhnya.
********
Tahun baru
hampir tiba. Sebagian dari pemilik rumah mulai membicarakan rencana Pesta Tahun
Baru. Hanya sekitar separuh dari kelompok yang memutuskan untuk melakukannya,
maka kita akhirnya membuat pesta dan musik di dalam aula rekreasi masyarakat.
Tom menyukai gagasan tersebut sebab dia tidak begitu suka pergi ke luar.
Makanannya seadanya saja yang disajikan setelah itu kita putar sebuah rekaman
tua dan berdansa.
Aku katakan
pada diriku agar tidak mengulangi peristiwa di pesta sebelumnya, tetapi saat
Silvi meminta dengan tegas bahwa aku harus memberinya kesempatan istirahat
setelah berdansa dengan suaminya dan aku tidak bisa katakan tidak padanya. Sama
dengan dulu, musik mulai dengan lagu yang cepat dan kemudian seseorang
menggantinya dengan sebuah nomor lambat. Seakan seperti ada setan kecil yang
sedang duduk di bahuku dan berkata, ‘Lakukan Lusi’.
Akhirnya
aku tidak menentangnya ketika Martin meletakkan tangannya pada pinggangku dan
mulailah kita bergerak di lantai itu. Seseorang mematikan lampunya. Saat ini
kita berpakaian secara informal. Sebagai ganti setelan yang kaku, Martin
mengenakan celana santai dan kaos polo. Aku memakai sebuah blus dan rok
panjang. Kali ini saat payudaraku mulai menggosok pada tubuhnya aku bisa
merasakan panas tubuhnya. Puting susuku mengeras dan aku pikir dia pasti bisa
merasakannya. Perutku adakalanya menabraknya, menabrak kemaluan yang lurus
keras yang pernah aku rasa sebelumnya. Satu lagu berganti yang lain, sebuah
nomor lambat yang lain .
Setiap kali
perutku menggosok penisnya, aku bisa merasakan tangannya pada pinggangku,
dengan pelan menarikku mendekat. Tidak pernah kasar, tidak pernah lebih dari
sekedar sebuah remasan yang lembut. Sepanjang waktu itu dia selalu bicara
seolah-olah itu tidak terjadi, seolah-olah aku tidak sedang menggosokkan
payudaraku pada tubuhnya, seolah-olah kemaluannya yang keras tidak sedang
menekan ke perutku. Yang akhirnya, saat lagu hampir berakhir, aku mundur dengan
kasar dan sungguh-sungguh.
“Oops,
maafkan aku Lusi. Kamu berdansa dengan sangat baik membuat aku lupa kalau kita
belum pernah berdansa bersama selama bertahun-tahun. Aku tidak bermaksud
sedekat ini.” dia kembali memegang lenganku saat menatap mataku.
“Maafkan
aku. Aku tidak bermaksud untuk melompat mundur seperti tadi. Maksudku aku
benar-benar menikmati berdansa denganmu. Hanya aku, uh… yah, aku tidak ingin
kamu mempunyai pikiran yang salah… Maksudku…”
“Itu
kesalahanku Lusi. Aku takut saat seorang pria berada dekat dengan seorang
perempuan cantik ada seuatu yang terjadi. Aku yakin kamu secara kebetulan
pernah mengalami itu sebelumnya.” dia tertawa kecil.
“Nggak
apa-apa. Aku tahu pria tidak bisa menghindarinya. Meskipun sudah sering
terjadi. Maksudku aku jarang berdansa.” aku merasa cara bicaraku gagap.
“Kita bisa
pergi duduk jika kamu ingin berhenti. Tetapi aku harus mengatakan pada kamu itu
akan mengakhiri dansaku malam ini. Mata kakinya Silvi sakit dan dia bilang
padaku kalau dia sedang tidak ingin berdansa.”
“Yahh, aku
tidak ingin jadi ratu pesta. Aku hanya tidak ingin kamu mempunyai pemikiran
yang salah.”
“Aku hanya
mempunyai kesan yang terbaik tentang kamu Lusi. Betapapun, kita berdua adalah
orang dewasa dan memahami peristiwa yang tertentu itu hanya reaksi biologis
yang wajar. Aku tidak bisa mencegahnya dan harus kuakui ini merupakan sebuah
kehormatan ada seorang perempuan cantik yang mau berdansa denganku malam ini.
Tetapi aku berjanji untuk menjaga batas diantara kita.” kata-katanya mengalir
keluar diiringi oleh tawa kecil.
Musik
berbunyi lagi dan secara otomatis kita mulai dansa lambat yang lain .
“Apakah
kamu benar-benar berpikir aku pintar berdansa? Atau kamu berusaha menjadi
seorang gentleman?”
“Aku pikir
kamu pintar berdansa Lusi. Jelas nyata kamu jarang berdansa tetapi iramamu
sempurna.”
Badan kami
saling bersentuhan. Dia bergerak jelas agar tak saling bersentuhan.
“Jangan
cemas Martin. Kamu tidak harus begitu setiap kali kita bersentuhan.”
Aku
bergerak merapat padanya. Aku ingin merasakan tubuhku yang menekan tubuhnya,
menekan kemaluannya. Segera saja kita berdansa dengan rapat. Saat aku menggosok
perutku terhadap “kekerasannya”, tangannya di pinggangku dengan lembut
menarikku. Aku bisa merasakan puting susuku mengeras, dia pasti bisa merasakan
itu saat menekan tubuhnya. Aku bisa merasakan gerakan ereksinya saat perutku
menggosok dia. Aku merasa kehangatan diantara kakiku saat tubuhku menjadi
bergairah. Aku tahu bahwa celana dalamku sudah menjadi basah. Aku serasa berada
di surga kesenangan. Aku merasa kalau aku sangat jahat tapi aku sedang
menikmati itu. Kemudian musik berakhir.
Kami bergabung
kembali dengan Silvi dan Tom di meja itu. Hampir tengah malam. Tepat tengah
malam semuanya bersorak dan berteriak. Aku mencium Tom panjang dan dalam,
sebagian karena aku merasa bersalah tentang dansa bersama Martin tadi, tentang
gesekan pada ereksinya, dan menekankan payudaraku padanya. Martin dan Silvi
yang berada di sebelah kami, saling berpelukan mesra. Aku bisa lihat tangan
Martin pada pantatnya, dengan jelas menariknya merapat padanya dan aku tahu
bahwa dia sedang menggelinjang pada ereksinya yang keras. Mereka merenggang dan
Silvi merebut Tomku dan memeluknya, dia telah memutar Tom sedemikian rupa
sehingga punggungnya berada di depanku. Martin berbisik “Bolehkah saya” saat
dia membuka lengannya. Aku memeluknya dan mengijinkan dia menciumku, kemudian
saat aku merasa tangannya pada pantatku. Aku membuka mulutku dan mendapatkan
sebuah ‘French-Kiss’, merasakan dia menarikku semakin merapat padanya aku
merasakan lagi ereksinya yang keras. Kemudian selesai.
Malam itu
aku mendapat mimpi basah yang liar. Aku belum pernah bermimpi seperti itu sejak
aku berumur sepuluh tahun. Paginya aku mempunyai mimpi buruk mengerikan dari
apa yang telah aku lakukan. Terima kasih surga untuk Siska. Aku cerita padanya
dan dia senang mendengarkannya. Kita memutuskan bahwa tidak ada yang buruk yang
telah terjadi. Sekali lagi, aku pikir, benar begitu, tidak ada. Sekalipun
begitu aku masih mendapatkan diriku memikirkan dansa itu, tentang ciuman itu.
********
Sepertinya
aku bertemu Silvi dan Martin lebih sering setelah tahun baru. Aku sekarang tahu
bahwa pekerjaan Martin membuatnya sering pergi ke luar kota, untuk urusan mebel
mereka. Sebagai sampingannya dia membeli perhiasan dari daerah yang di
kunjunginya, yang dia jual ke beberapa toko lokal. Ini aku ketahui saat aku
bilang ke Silvi kalau ibuku telah mengirimiku uang untuk membeli sebuah kalung.
“Lusi,
datanglah kemari dan lihat apa yang Marty punyai. Dia membawa beberapa barang
dari luar kota. Jika dia punya sesuatu yang kamu suka, kamu akan membayar
seperempat dari apa yang David jual di tokonya. Ini bukan barang rongsokan,
dilapisi perak dan emas. Dan tidak kelihatan seperti barang murahan, ini adalah
yang mereka ekspor ke luar negeri.”
“Aku tidak
bisa.”
“Tentu kamu
bisa. Aku memaksamu. Jika kamu tidak temukan yang kamu sukai, jangan merasa
sepertinya kamu harus membeli apapun. Dia tidak punya masalah menjual barang
barang ini ke David. Dia akan pulang pada siang hari, mampirlah nanti.”
Aku
mengetuk pintu mereka sekitar jam 12:15.
“Masuk,
masuk. Waktu yang tepat. Marty baru saja tiba dirumah dan aku bilang padanya
kamu mungkin ingin beberapa perhiasan. Marty”. Silvi berteriak saat dia
mengantarku ke meja ruang makan.
“Tunggu
sebentar, aku hampir keluar dari kamar mandi.” aku mendengar suara Martin dari
atas.
“Sayang,
bawa kalungnya biar dia dapat melihatnya saat kamu selesai.”
“OK, ok.”
Dengan
segera Martin muncul membawa dua buah koper. Rambutnya kusut dan basah dan dia
mengenakan sebuah jubah mandi putih yang hanya sampai di lutut.
“Halo Lusi.
Aku harap aku punya apa yang kamu sukai. Aku membawa beberapa emas dan perak.”
katanya saat dia berdiri di seberang meja di depanku membuka koper itu.
Kemudian dia memutar koper ke arahku dan mulai melangkah pergi.
“Oh!
Tunggulah sebentar sayang. Tunjukkanlah pada Lusi bagaimana cara membaca
sertifikat yang menjelaskan isi perhiasan ini.”
Dia
berbalik, duduk di depanku. Dia mengambilt sebuah kalung beserta sebuah dokumen
kecil.
Aku tidak
bisa berkonsentrasi pada kalung, semua yang bisa kupikir adalah cerita tentang
Siska yang melihat menembus kaca meja. Déjà vu!
Martin
sedang bicara, aku tidak sedang mendengarkannya. Koper itu menghalangi
pandanganku. Tanpa berpikir, aku menggesernya ke samping. Sekarang dia sedang
memegang kalung itu dan aku menatapnya… lebih memperhatikan tetapi benar-benar
sedang memperhatikan pada kemaluannya. Itu sama persis seperti yang Siska
ceritakan. Kakinya terbuka lebar, dia duduk di pinggir kursi. Kemaluannya
tergantung terayun-ayun saat dia bergerak. Itu terlihat sangat besar buatku.
Aku merasa wajahku mulai terasa hangat dan menyadari bahwa wajahku pasti merah.
Suara Silvi
menghentikan tatapan mataku.
“Dengar
sayang, aku harus pergi belanja. Jika kamu telah dapat apa yang Lusi inginkan
lebih baik kamu berikan padanya. Lusi sayang, maafkan aku, aku lupa kalau aku
harus pergi tapi kamu ditangan ahlinya dengan Marty. Sampai jumpa sayang, aku
akan kembali sekitar jam setengah tujuh.” dan dia pergi ke pintu keluar.
“Sampai
jumpa sayang.”
“Katakan
padaku jika kamu lihat apapun yang kamu suka.” kata Marty saat dia menyebar
beberapa kalung di atas meja itu. Menyebarnya sedemikian rupa sehingga garis
pandangku pada kalung-kalung itu juga searah pada daging pisang berwarna yang
panjang berayun di bawah. Siska telah mengatakannya menyerupai sebuah pisang
besar. Itu bahkan mempunyai sebuah ujung seperti sebuah pisang.
“A… a… aku
ng… tidak tahu…… ini jauh lebih dari yang aku harapkan.”
“Jangan
cemas Lusi. Jika kamu tidak lihat apa yang kamu suka, aku paham. Aku tidak
pernah memaksa barang-barangku pada seseorang. Santai saja. Kadang-kadang hanya
manis untuk dilihat saja.”
Aku lihat
dia mengedip saat aku melihat ke arahnya.
“Ini,
bagaimana jika kita mencoba yang ini pada lehermu dan kamu dapat lihat
bagaimana ini terlihat di kulitmu?” katanya saat dia bangkit dengan sebuah
kalung emas besar yang indah di tangannya.
“OK,
barangkali itu sebuah ide yang bagus.” aku melihat dia bergerak, jubahnya
sekarang sedikit terbuka saat dia berdiri dan bergerak, penisnya mengayun
keluar masuk dari sudut pandangan.
Aku duduk
hampir membeku, memperhatikan diriku pada cermin di dinding. Memperhatikan
Martin sekarang berdiri di depan bahuku, memasangkan kalung di leherku. Aku
melihat di cermin jubahnya yang terbuka, penisnya sekarang tersentuh lengan
tanganku, langsung bersentuhan karena blus tak berlengan yang aku kenakan.
“Bagaimana,
kamu suka Lusi? Ayo, peganglah. Sudah pernahkah kamu melihat yang seperti ini?”
“Tidak.
Belum pernah. Ini sangat besar. Aku belum pernah melihat yang sebesar ini.” aku
menggerakkan kepalaku ke samping saat aku bicara, menatap pada kemaluannya yang
menggesek bahuku, mengamati kantung buah zakarnya untuk pertama kali. Itu juga
besar. Besar tetapi lebih lembut dibanding kantong berkerut Tom.
“Terimakasih.
Aku pikir kemungilanmu yang cantik membuatnya nampak lebih besar. Sentuhlah
kalau kamu ingin.”
“Kal… eh…
benda ini?”
“Apapun
yang kamu inginkan, Lusi. Kamu ingin merasakannya, ya kan?”
“Uh huh.”
aku menggenggamkan jariku melingkarinya. Aku merasakannya mulai mengeras pada
sentuhanku. Aku pernah dengar kemaluan yang belum di sunat tapi aku belum
pernah melihat sebelumnya. Saat itu mengeras aku lihat kulitnya menyingkap. Aku
menyingkap dengan lemah-lembut dan melihat kulitnya menarik kembali
memperlihatkan sebuah mahkota yang tinggi.
“Apa itu
melukai kamu?”
“Kebalikannya
Lusi, sentuhanmu terasa nikmat. Apa kamu belum pernah melihat sebuah penis yang
belum disunat?”
Aku
menatapnya.
“Tidak
disunat.”
“Oh Tuhan.
Martin tolong jangan tertawakan aku. Satu-satunya kemaluan yang telah kulihat
hanya milik Tom. Dan bahkan saat dia sedang ereksi tidak seperti milikmu. Aku
tidak pernah melakukan sesuatu seperti ini sebelumnya. Apakah itu benar jika
aku hanya merasakan kemaluanmu dan melihatnya?”
“Lusi, Lusi
sayang. Kamu adalah sebuah harta karun seutuhnya. Aku tidak pernah akan
menertawakan kamu. Kamu adalah sebuah bunga yang menunggu untuk mekar.
Lakukanlah, remas penisku, rasakan bagaimana kamu membuatnya keras, tapi tolong
sebut ini dengan penis bukan kemaluan ”
“Oh
brengsek, kamu pasti berpikir aku adalah orang bodoh atau yang semacam itu. Aku
merasa seperti seorang idiot. Maafkan aku, aku tidak ingin menggoda,
benar-benar tidak. Bukan berarti aku tidak bisa berhubungan seks atau apapun
yang seperti itu. Hanya saja aku tidak pernah berada di dalam situasi seperti
ini.” aku jelaskan panjang lebar sekarang, menjatuhkan penisnya seperti sebuah
kentang panas.
“Lusi,
tenang. Percayalah padaku, aku tidak berpikir kamu adalah seorang yang bodoh
atau apapun yang seperti itu. Lakukanlah, ini adalah kesempatanmu untuk
merasakan sebuah penis. Ambil kesempatanmu.” dia menempatkan tanganku kembali
pada penisnya, menggenggam jarinya ke jariku.
“Katakan
penis, Lusi. Katakanlah apa yang sedang kamu pikirkan. Hanya kocok sedikit”
ketika tangannya memandu tanganku dalam sebuah gerakan mengocok.
Aku
menyaksikan dengan tertarik saat tangannya memandu tanganku yang pelan-pelan
mengocok ke atas-bawah pada batang yang keras itu. Aku melihat kulitnya
menyingkap memperlihatkan bagian atas kepala yang dimahkotai saat kocokanku
bergerak ke bawah dan kemudian pada kocokan ke atas, kulitnya membungkus
kepalanya dan membentuk sebuah ujung yang berkerut. Tangannya melepaskan
lenganku. Aku melanjutkan mengocok penisnya seperti terhipnotis. Aku
menekannya. Aku bisa merasakan penisnya yang menjadi lebih keras. Aku
meremasnya lebih keras dan dalam pikiranku aku sedang berkata ‘ penis’ berulang
kali.
Kemudian
aku mengucapkannya. “Penismu jadi sangat keras. Rasanya sangat hangat. Aku
ingin meremas penismu.” dan tiba-tiba aku ingin katakan semua kata-kata yang
selama ini ku tabukan. Perkataan penis nampak membuatnya lebih erotis lagi .
“Ummm, ya.
Remas Lusi.” tangannya kini meluncur ke balik blusku. Tekanan lengan tangannya
pada wajahku membawa pipiku bersentuhan dengan penisnya.
Aku
memandangi cermin di seberang kami. Aku belum pernah melihat diriku yang sedang
berhubungan seks. Sekarang aku menjadi sangat terangsang saat aku melihat
diriku menggosok penisnya pada pipiku, melihat kancing blusku terbuka saat
tangannya menuju ke payudaraku. Blusku terbuka. Tangannya menyelinap masuk
braku. Jarinya menjepit puting susuku.
Aku tidak
bisa percaya bagaimana nikmatknya rasanya. Bagaimana sangat erotisnya.
Bagaimana sangat sangat bersalah tetapi sangat sangat menggairahkan. Tangannya
memaksa braku turun, puting susuku jadi terlihat. Aku melihat ke atas dan
melihat Martin yang sedang menatap ke cermin juga.
“Kamu
mempunyai puting susu yang menakjubkan Lusi. Mereka sangat keras, sangat besar.
Mereka seperti permata merah muda di atas bukit. Apakah kamu suka mereka
dijepit?”
“Ya. Itu
rasanya enak. Aku suka mereka dijepit dengan keras.”
Aku melihat
di dalam cermin, blusku tersingkap hingga perut, sebelah payudaraku terekspose
penuh sedang braku tetap menutup yang sebelahnya. Tangan Martin memegang
putingku, ibu jari dan jari telunjuknya berputar, menarik, menekan puting
susuku. Aku melihat tanganku yang mengocok penis tebalnya, menggosoknya pada
pipiku. Aku melihat cairan pre-cumnya keluar sedikit dari lubang kencingnya
kemudian dia mengamati saat aku mengoleskan pre-cumnya ke pipiku..
Aku
memalingkan wajahku menghadap penisnya, mengamati pre-cum yang pelan-pelan
membentuk tetesan yang lain. Aku menggosokkan ibu jariku di ujung penisnya,
menikmati genangan dari pre-cum itu ketika aku menekan kepala penisnya.
Menjadikan kepala penisnya berkilauan. Aku menggosok penisnya pada pipiku lagi.
Aku merasa
tangan Martin yang bebas berada di kepalaku, merasa dia memutar kepalaku dengan
lembut. Penisnya meluncur melewati pipi dan menggosok bibirku. Secara naluri
aku membuka mulutku, mulai menjilat kepala kerasnya yang hangat. Aku
melanjutkan mengocok penisnya ketika mulutku mengulum kepala itu. Itu bahkan
nampak lebih besar sejak aku menghisapnya.
“Umm, yaa.
Gerakkan lidahmu Lusi. Tuhan, rasanya enak. Bermain-mainlah dengannya sayang.
Jilat naik turun batang itu. Umm, nikmat.”
Kujalankan
lidahku naik turun sepanjang batang itu. Penisnya kini berkilauan dengan air
liurku. Saat mulutku berada pada buah zakarnya, dia mengangkat penisnya
sedemikian rupa sehingga buah zakarnya menggosok daguku. Aku belum pernah
menjilat buah zakar seseorang, tetapi aku tahu apa yang dia inginkan. Itu apa
yang juga aku inginkan. Aku ingin bermain-main dengan kantong besar itu. Aku
mulai menjilat buah zakarnya saat penisnya berada tepat di wajahku. Aku bisa
merasakan panas dari penisnya di wajahku.
Martin
menarik blusku yang tersisa melewati bahu. Ketika melepaskannya dari badanku,
dia melepaskan braku juga, yang mengikuti blusku jatuh ke lantai.
Aku
mengerling ke cermin itu. Memandang dan merasa tangan besarnya mencakup
payudara kecilku. Aku kembalikan tatapanku pada penisnya, ketika jarinya dengan
lembut mulai memutari puting susuku. Aku melihat pembuluh darah biru yang
panjang di sepanjang batang itu. Aku sapukan lidahku sepanjang pembuluh
darahnya, dan kemudian menekan kepala penisnya untuk membuka lubangnya
sedemikian rupa sehingga aku bisa memeriksanya dengan lidahku.
“Tuhan kamu
mempunyai puting susu yang keras Lusi. Apa kamu suka mereka dihisap? Katakanlah
apa yang kamu inginkan, aku ingin membuat kamu merasakan nikmat seperti yang
kamu lakukan untukku.”
“Dijepit, ya
yang keras. Dan hisap, gigit putingku.” aku berbisik dengan penisnya yang
menyentuh bibirku.
“Bagus. Aku
suka menghisap puting.” dia tertawa saat menarikku berdiri pada kakiku. Saat
aku melepaskan genggamanku pada penisnya dia berlutut di depanku. Mulutnya
menelan satu payudara, dia mulai menghisap selagi lidahnya menjilat puting
susuku. Tangannya pada punggungku, memelukku erat, membelaiku saat dia
menghisap payudara yang kiri kemudian berganti yang sebelah kanan. Saat dia
menghisap dalam mulutnya, aku bisa merasakan lidahnya yang menjilat, kemudian
ketika mulutnya mundur, giginya dengan lembut menggigit puting susuku. Dia
memegang puting susuku diantara giginya dan menjalankan ujung lidahnya. Tuhan,
itu terasa nikmat.
Saat dia
bekerja pada putingku, tangannya meluncur menuju ke pinggulku. Kulepas kancing
celana panjangku. Celana panjang dan celana dalamku dilepasnya sekaligus. Sama
sekali tanpa berpikir tentang itu, aku melangkah keluar dari pakaianku yang
terakhir. Dia masih menghisap, menggigiti puting susuku saat tangannya sekarang
membelai kaki dan pantatku. Secara naluriah aku melebarkan kakiku, mengundang
tangannya pada vaginaku. Larangan terkhirku menguap ketika Martin mulai
mengelus vaginaku.
Aku
memandangnya, melihat bibirnya bekerja di sekitar payudaraku. Aku melihat
putingku tertarik keluar saat ia menghisap dan menggigit dan menarik puting
susuku dengan mulut dan giginya. Aku melihat tangannya menggosok vaginaku. Aku
melihat jarinya menghilang lenyap ke dalam rimbunan rambut lebatku. Merasa jarinya
meluncur menyentuh vaginaku.
Saat dia
menggerakkan jarinya keluar masuk, aku menggelinjang.
“Terasa
enak?” dia tersenyum.
“Ya, ya.”
“Umm, dan
rasanya enak juga.” katanya saat menarik jarinya dan menjilatnya, dan kemudian
menyodorkan jarinya kepadaku untuk dijilat.
Aku belum
pernah merasakan diriku sendiri. Jika itu pernah terjadi kepadaku, aku yakin
aku akan menganggap itu adalah sebuah tindakan yang menjijikkan. Tetapi
sekarang aku menjilat jarinya dan merasa kagum bahwa aku menyukai itu.
“Aku pikir
vagina ini memerlukan sebuah jilatan yang bagus. Kamu suka vaginamu dioral, ya
kan? Tidak pernah ada seorang perempuan yang tidak menyukainya”
Aku suka
itu. Hanya saja itu tidak sering terjadi. Tetapi sekarang aku menginginkannya
lebih dari yang pernah ada.
Dia
mengangkatku ke atas meja, mendudukkanku pada tepinya. Aku membuka lebar kakiku
mengundang mulutnya kepada bibirku. Menempatkan jariku pada vagina, aku
melebarkannya terbuka, menarik rambutnya ke samping. Aku merasa sangat erotis
saat aku membayangkan pandangannya pada vaginaku, daging merah muda yang basah
yang kini terpampang karena bibirnya yang terbuka.
Aku
gemetaran saat merasakan lidahnya mulai menjilat celahku. Lidahnya menekan ke
dalam vaginaku dan memukul-mukul ke atas menyebabkan getaran yang sangat indah
ketika diseret melewati kelentitku.
“Oh, Tuhan,
ya, ya ya.”
Dia
membenamkan wajahnya ke dalam vaginaku, lidahnya manari di dalamnya. Dia mulai
menggosok kelentitku seiring dengan jilatannya pada vaginaku. Aku mendorong
pinggulku menekannya, menggeliat di atas meja.
Kulingkarkan
kakiku di lehernya, lebih mendorongnya padaku. Aku melihat dia menguburkan
wajahnya ke dalam vaginaku semakin dalam. Aku mendengar bunyi dia menghirup,
menghisap cairanku.
“Oohhh.”
aku menjerit dan menggelinjang. Aku mendapat sebuah orgasme yang sangat indah.
Ini membuatnya bekerja lebih keras pada vaginaku, sekarang mengisap kelentitku
ketika jarinya disodokkan ke dalam vaginaku.
Aku merasa
seperti terbakar. Sekujur tubuhku terasa geli. Vaginaku sedang diregangkan. Aku
tahu bahwa dia sedang menekan jari yang lain ke dalam vaginaku. Ketika vaginaku
pelan-pelan menyerah kepada jari yang ditambahkannya, aku tahu apa yang
berikutnya. Aku menginginkan itu. Aku ingin merasakan penis besarnya di
dalamku. Aku tahu dia perlanan menyiapkan aku untuk itu.
“Martin.
Aku menginginkannya. Aku menginginkan kamu. Aku takut itu terlalu besar tapi
aku menginginkan itu.”
“Jangan
takut Lusi. Aku sangat lembut.” Dia mengangkatku, membawa aku menuju sebuah
kamar.
Aku melingkarkan
lenganku padanya. Aku menciumnya sepanjang jalan menuju kamar, menghisap
lidahnya, mendorong lidahku ke dalam mulutnya.
Dia
menempatkanku di atas tempat tidur, mengambil sebuah gel pelumas dari lemari
kecil di samping tempat tidur
“Buka
kakimu melebar,” dia berkata saat menekan pelumas dari tabungnya kemudian
menggosokannya ke dalam vaginaku. Terasa dingin, dan dia menyelipkan dua jari
ke dalam vaginaku. Mereka masuk dengan mudah. Aku memegang tangannya dan
membantu jarinya bekerja di dalam vaginaku.
“Sekarang
giliranmu.” dia berkata saat berbaring pada punggungnya. “Lumasi mainanmu.” dia
tersenyum.
Aku melihat
pada penisnya. Itu masih terlihat sangat besar buatku. Masih setengah ereksi.
Itu terletak lurus ke arah kepalanya, kepala penisnya sampai menyentuh
pusarnya.
Aku
menyemburkan gel ke penisnya, membuat sebuah garis zig-zag sepanjang batangnya,
seperti menghias sebuah kue pikirku. Dia tertawa. Aku mulai menyebarkan gel
dengan jari tengahku. Penisnya terasa hangat, jariku menekan ke dalam daging
itu. Saat aku menjalankan jariku naik turun pada batangnya, aku merasa penisnya
menjadi lebih keras. Aku menyukai itu. Aku menyukai menjadikan penisnya keras.
Aku menggenggam penisnya dengan ibu jari dan jari tengahku, menekan gel lebih
banyak lagi dan melumuri seluruh penisnya.
“Ke atas.”
dia menginstruksikan.
Aku
memandangnya.
“Kamu ke
atas, dengan begitu kamu dapat mengendalikan penisku. Gosok saja ke vaginamu,
bermainlah dengan itu, lakukan pelan-pelan.”
Aku
mengayunkan kakiku di atasnya, mengangkanginya, aku menunduk untuk menciumnya.
“Itu terasa
nikmat. Gosokkan puting susumu yang keras padaku. Gesekkan vaginamu sepanjang
penisku.” lengannya melingkariku, menarikku mendekat, dengan lembut tetapi
kuat, memaksa puting susuku ke dadanya.
Puting
susuku jadi sangat keras dan sensitif. Aku menggerakkannya pelan-pelan
maju-mundur, membelainya dengan puting susuku dan menikmati kehangatan dari
badannya. Aku bisa merasakan penisnya beradu dengan pantatku. Aku bergerak
mundur untuk membiarkan penisnya meluncur diantara kakiku. Aku bisa merasakan
batang itu meluncur sepanjang bibir vaginaku. Tidak menembus, aku hanya
menggesek naik turun batang yang keras itu, menikmati sensasi yang baru ini
dari penis keras dan besar yang menekan ke dalam bibir vagina telanjangku,
menikmati rasa dari puting susuku yang menyentuh sepanjang badannya.
Kemudian
dia mendorongku kembali pada posisi duduk. “Masukkan Lusi.”
Aku
mengangkat batang tebal itu dan menggosok kepalanya pada vaginaku, kemudian
menekannya berusaha untuk memasukkannya. Aku melihat kepala yang tebal membelah
bibirku hanya untuk menyeruak masuk dalam lubangku. “Oh Tuhan, Martin, ini
terlalu besar. Aku tidak akan pernah dapat menampungnya di dalamku.”
Dia
menempatkan satu jari di dalam vaginaku dan pelan-pelan mulai mengocok jarinya
saat aku tetap memegangi penisnya. Saat aku mengamati, aku lihat dia dengan
lemah-lembut menekan jari keduanya ke dalam vagina basahku. Aku bisa merasakan
peregangan dan mulai “mengendarai” jarinya. Kemudian dia memasukkan jari yang
ke tiga, memutar jarinya saat dia meregangkan vaginaku. Kemudian dengan sebuah
gerakan lembut, dia menarik jarinya, memegang tanganku yang sedang menggenggam
penisnya dan menuntunnya ke arah lubangku yang sudah membuka.
“Lakukan
sekarang Lusi. Duduk di atasnya. Vaginamu telah siap, biarkan saja masuk.”
Aku
melakukannya. Ketakutanku bahwa itu akan menyakitkan lenyap saat aku merasa
kepalanya membelah vaginaku. Dibandingkan rasa sakitnya, aku mendapatkan rasa
yang sangat nikmat dari tekanan pada vaginaku. Sebuah perasaan menjadi
terbentang dan diisi. Dia mulai memompa ke dalamku dengan dorongan dangkal, setiap
dorongan menekan masuk semakin ke dalam vaginaku. Penisnya nampak bergerak
lebih dalam dan semakin dalam, menyentuhku di mana aku belum pernah disentuh.
Kemudian aku sadar bahwa penisnya sedang memukul leher rahimku.
Sekarang
penisnya terkubur di dalamku dia menggulingkan aku, menarik kakiku pada
bahunya. Aku belum pernah membayangkan bagaimana erotisnya ini, melihat dan
mengamati penis yang besar pelan-pelan meluncur keluar masuk tubuhku. Tetapi
kemudian, aku menjadi lebih terbakar pada setiap hentakan.
Dia mulai
ke menyetubuhiku lebih cepat, lebih keras, dengan sela sebentar-sebentar saat
penisnya dikuburkan dalam di dalamku. Dan setiap kali dia berhenti dengan
penisnya jauh di dalamku, aku akan menggetarkan diriku ke dia sampai akhirnya
aku mendapatkan orgasme keduaku hari ini, Sebuah orgasme yang hebat sekali! Dan
aku ingin lebih. Dan aku senang merasakan penisnya masih keras, masih
menyetubuhiku.
“Gadis baik
Lusi. Lepaskanlah.”
“Oh Tuhan
ya.”
“Kamu
menyukainya kan sayang, suka sebuah penis yang besar mengisi vagina kecilmu
yang ketat.” dia kini menyetubuhiku dengan hentakan yang panjang dan kuat.
“Oh ya,
benar, betul. Setubuhi aku. Kerjai vaginaku. Setubuhi aku, setubuhi aku,
setubuhi aku.”
“Aku akan
keluar di dalam tubuhmu. Katakan kamu ingin spermaku.”
“Ohhhh
Tuhan, aku ingin kamu orgasme, aku mau spermamu. Ohhhh itu sangat besar.
Rasanya nikmat. Ya, keluarlah! Oh brengsek, aku orgasme lagi Martin. Setubuhi
aku dengan keras. Kumohon, lebih keras.”
Ia mengerang,
menghentikan kocokan penisnya keluar masuk, dan hanya menguburkan dirinya
sangat dalam di vagina basah panasku. Ia mengandaskan dirinya ke dalamku dan
aku tahu dia sedang orgasme. Aku berbalik menekannya, berusaha untuk
mendapatkan penisnya sedalam-dalamnya padaku. Kemudian aku keluar lagi. Ombak
kesenangan yang sangat indah menggulung seluruh tubuhku.
Aku merasa
tubuhnya melemah, tapi dia tidak mengeluarkan penisnya dariku. Aku pikir aku
bisa merasakan penisnya melembut di dalam vaginaku sekalipun begitu vaginaku
masih terasa nikmat dan penuh, sangat hangat dan basah. Aku menunjukkan padanya
dengan sebuah ciuman.
Kami hanya
rebah di sana. Aku tahu aku sedang “terkunci”. Aku bisa merasakan sedikit rasa
bersalah yang merambat ke dalam pikiranku tapi aku tahu bahwa aku menyukai
disetubuhi oleh penis yang besar. Aku tahu aku menyukai berkata kotor.
Kemudian
gelembung itu nampak meretak.
“Baiklah,
apa pendapatmu tentang Lusi? Apa Marty terasa manis seperti kelihatannya?”
Silvi,
berdiri di pintu.
“Astaga…
Silvi… a… aku…” aku masih belum dapat menggambarkan semua ini. Semua yang bisa
kupikir adalah bahwa aku baru saja tidur dengan suami perempuan lain.
“Lusi,
tenang sayang.” Silvi memotongku. “Aku tidak marah. Aku senang melihat kamu
telah menyadari kalau kamu suka penis yang besar.” dia tersenyum. “Andai aku
bisa tinggal untuk menyaksikan keseluruhan peristiwa ini tapi kami pikir kamu
akan jadi lebih nyaman dengan cara begini.”
“Sebagian
orang tidak menerima seks hanya untuk kesenangan tetapi Silvi dan aku sudah
menemukannya berhasil untuk kami. Dia pikir kalaua kamu adalah seorang
perempuan yang sedang kekurangan kesenangan maka kami piker kenapa tidak
membuka pintu dan melihat jika kamu ingin masuk. Aku berharap kamu tidak marah.
Aku berharap kamu akan kembali.” Martin menggulingkan aku dan kini membelai
badanku saat dia dan Silvi bicara.
Aku mencoba
untuk katakan sesuatu, “Aku bukan perempuan seperti itu. Ini adalah sebuah
kekeliruan. Aku kira kita harus melupakan kalau ini pernah terjadi.” tapi tidak
ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Aku hanya meraih dan membelai penis
Martin yang besar dan lembut.
Silvi duduk
di tempat tidur, menciumku pelan. “Berbagi adalah menyenangkan Lusi. Dan kita
semua adalah “pelacur kecil” jauh di dalam bawah sana, ya kan?”
“Pelacur”
kata itu berderik di dalam pikiranku. Tuhan, aku adalah seorang pelacur, ya
kan? Dan aku tidak peduli, aku hanya tahu bahwa aku ingin berhubungan seks
dengan penis yang besar ini lagi.
Maka
begitulah bagaimana cerita ini bermula. Tom yang malang tidak tahu kenapa aku
berteman baik dengan Martin dan Silvi. Tom masih suka berhubungan badan tiap
seminggu sekali atau dua kali tetapi aku masih susah merasakan dia di dalamku.
No Response to "Akhirnya Lusi Selingkuh"
Posting Komentar