Silahkan dinikmati saja & berpikirlah positif karenna ccerita ini hanya untuk hiburan belaka. PERHATIAN!!! HANYA UNTUK 17 TAHUN KE ATAS....!!!!!
Dua tahun
yang lalu aku dan Lily bertamasya ke Disney World di Orlando, Amerika Serikat.
Karena keuangan yang agak pas-pasan, kami membeli tiket pesawat dari perusahaan
penerbangan yang lebih murah. Pilihan kami jatuh pada Malaysia Airline (selain
murah, pada saat itu sedang ada harga promosi).
Semua
perencanaan terlihat begitu baik. Kami berangkat dari Jakarta sekitar jam 7
malam. Sesuai jadwal yang telah diberitahukan, kami transit selama 1 jam di
Kuala Lumpur untuk melanjutkan ke penerbangan selanjutnya langsung ke bandara
John F Kennedy (JFK) di New York .
Itu yang
kami tahu. Akan tetapi pada kenyataannya kami harus transit sekali lagi di
Dubai (Arab). Aku sempat kecewa karena kami tidak diberitahukan akan hal ini
sebelumnya. Aku sempat menanyakan tempat transit mana saja yang akan kami
jalani pada perusahaan travel tempat kami memesan tiket namun mereka mengatakan
bahwa kami hanya transit satu kali di Kuala Lumpur .
Aku sempat
mengira kami telah salah naik pesawat karena persinggahan pesawat kami di Dubai
itu. Setelah mengetahui kapal yang kami naiki benar-benar menuju ke New York ,
kami hanya pasrah saja.
Pemeriksaan
yang bertele-tele di bandara Dubai sungguh melelahkan. Kami harus mengantri
sekitar 1 jam untuk melewati pemeriksaan bagasi saja.
Setelah
barang-barang bawaan kami melewati alat sensor, seorang petugas menghampiri tas
koper istri saya dan berseru dengan suara agak keras untuk menanyakan siapa
pemilik koper tersebut. Istri saya maju dan mengatakan kepadanya bahwa tas itu
miliknya.
Petugas
tersebut memandangi Lily cukup lama. Salah satu hal yang paling kuingat dari
wajahnya adalah kumis yang lebat seperti Pak Raden dalam film si Unyil. Lalu ia
membuka koper itu dan mulai mengacak-acak isinya. Isi koper itu hanyalah
pakaian-pakaian dan peralatan kosmetik Lily. Tangan pria itu (sebut saja si
Kumis) mengeluarkan satu kantong berisi bubuk hitam dari dalam koper.
“What is
this?” tanyanya dengan logat yang sulit dimengerti.
Lily
menjawab gugup, “Coffee.”
Alis si
Kumis mengkerut. Matanya menatap tajam Lily. Lalu ia mengatakan beberapa
kalimat yang sulit dipahami. Kemungkinan besar apa yang ingin dikatakan si
Kumis (dengan menggunakan bahasa inggris yang sangat aneh) adalah membawa kopi
dilarang.
Aku
mendekati petugas itu dan menanyakan lebih jelas permasalahannya. Si Kumis
masih saja mengacak-acak koper itu seakan mencari sesuatu yang hilang. Tanpa
merapihkan isi koper itu lagi, ia menutupnya dan memandang aku dengan wajah
curiga.
“Who are
you?” aku menduga ia mengucapkan kata-kata tersebut.
“I’m her
husband. What’s the problem, sir?”
Ia terus
memandangi kami berdua secara bergantian. Ia memanggil dua orang petugas lain
di belakangnya dengan gerak isyarat. Lalu ia berkata, “Follow me!”
Dua koper
kami diangkat oleh salah satu opsir yang baru dipanggil si Kumis sedang yang
satunya lagi menggiring kami untuk mengikuti si Kumis. Si Kumis berjalan dengan
cepat masuk ke dalam ruangan tertutup di pojok lorong tak jauh dari WC.
Ruangan
yang tak lebih dari 3 x 3 meter itu sangat terang dan seluruh temboknya
dilapisi cermin setinggi 2 meter dari lantainya. Koper kami dilemparkan dengan
kasar ke atas meja di pinggir. Ketiga pria itu (termasuk si Kumis) telah masuk
ke dalam ruangan. Pria yang memiliki brewok lebat menutup pintu lalu
menguncinya.
Kami berdua
berdiri terpaku di hadapan mereka bertiga. Aku merasa cemas akan semua ini. Apa
yang akan terjadi? Apa masalah yang begitu besar sehingga kami harus diperiksa
di ruangan terpisah? Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang memenuhi
pikiranku (mungkin tak beda jauh dengan benak Lily).
Baru saja
aku ingin membuka mulut untuk menanyakan permasalahannya, si Kumis mengatakan
sesuatu yang tak jelas. Kata-kata yang dapat tertangkap oleh telingaku hanyalah
“stand”, “wall” (dan “against” setelah berpikir beberapa detik untuk
mencernanya). Menurut perkiraanku mereka ingin kami berdiri menghadap tembok.
Informasi ini kuteruskan ke Lily yang tidak mengerti sama sekali perkataan si
Kumis.
Dengan
enggan kami membalik badan kami menghadap tembok. Dari pantulan cermin di depan
kami, aku melihat si Brewok dan pria yang satunya lagi yang berbadan lebih
tegap (sebut saja si Tegap) menghampiri kami. Telapak tangan kami ditempelkan
di tembok (cermin) di depan kami dan kaki kami direnggangkan dengan menendang
telapak kaki kami agar bergeser menjauh.
Si Brewok
mulai memeriksa seluruh tubuhku. Dimulai dari atas dan bergerak ke bawah.
Pemeriksaan berlangsung cepat. Beberapa benda di kantong baju dan celanaku
dikeluarkan dan diletakkannya di meja terpisah.
Sama halnya
seperti yang terjadi pada diriku, si Tegap memeriksa Lily dari atas ke bawah.
Sekilas aku melihat dari cermin, si Tegap menggerayangi payudara Lily walau
hanya sebentar.
Tak ada
ekspresi yang berubah dari wajah Lily. Sejak tadi ekspresi yang terlihat
hanyalah ekspresi kecemasan. Aku menepis pemikiran bahwa si Tegap mencari
kesempatan dalam kesempitan pada tubuh istriku. Mungkin saja memang ia harus
memeriksa bagian dada Lily, toh dadaku juga diperiksa oleh si Brewok, pikirku.
Benda-benda
juga dikeluarkan dari kantong jaket, baju dan celana Lily. Meja itu dipenuhi
oleh uang receh, permen, sapu tangan dan kertas-kertas tak berguna dari isi
kantong kami berdua.
Kemudian
setelah harus mencerna hampir lima kali kata-kata yang tak jelas dari si Kumis
(yang ternyata adalah atasan si Brewok dan si Tegap), aku menyadari bahwa ia
menyuruh kami untuk membuka pakaian kami. Jantungku seperti berhenti berdetak.
Lily masih belum dapat mengira-ngira perkataan si Kumis itu.
Tanpa
memberitahu istriku, aku mencoba untuk memprotes kepada si Kumis. Namun si
Kumis membentak, yang kuduga isinya (jika diterjemahkan): “Jangan macam-macam!
Cepat laksanakan!” Beberapa kata yang dapat tertangkap jelas oleh telingaku
adalah “Don’t play” dan “Quick”.
Aku
membisikkan kepada istriku keinginan si Kumis. Mata Lily membesar dan mulutnya
terbuka sedikit karena kaget.
Si Tegap
dan si Brewok sudah berdiri di samping kami dan mengawasi kami dengan pandangan
tajam. Aku melirik ke pinggang si Brewok. Pandanganku tertumpu pada pistol yang
menggantung di pinggang tersebut.
Perasaan
takut sudah menguasai diriku. Aku mulai melepaskan pakaianku dari sweater,
kemeja, kaos dan celana panjang. Pada saat aku melepaskan kemejaku, Lily masih
belum beranjak untuk melepaskan pakaiannya. Karena takut istriku dilukai, aku
memberi pandangan isyarat kepadanya agar ia segera melepaskan pakaiannya.
Akhirnya
dengan berat hati ia melepaskannya satu per satu. Jaket, kemeja, kaos dalam dan
terakhir celana jeansnya. Kami berdua berdiri hanya dengan pakaian dalam kami.
Si Kumis
berkata sesuatu yang sama sekali tidak dapat kumengerti. Detik berikutnya si
Tegap menarik tangan Lily dan membawanya ke sisi tembok yang bersebelahan
dengan tembok di hadapan kami. Tangan si Brewok menahanku ketika aku hendak
mengikuti Lily. “Don’t move!” katanya kepadaku dengan sangat jelas.
Aku masih
dapat melihat Lily (dari bayangan di tembok cermin) berdiri tak jauh di sebelah
kananku. Ia menghadap tembok namun pada sisi yang berbeda dengan tembokku.
Lalu si
Brewok menarik tanganku agar kedua telapak tanganku menempel di tembok cermin
dan merenggangkan kakiku. Si Tegap melakukan hal yang sama pula terhadap Lily.
Si Brewok
yang berdiri di belakangku, meraba-raba bagian tubuhku yang ditutupi oleh
celana dalamku, mencari-cari sesuatu untuk ditemukan. Setelah itu sambil
menggelengkan kepalanya, ia mengatakan sesuatu kepada si Kumis.
Pada saat
itulah aku melihat tangan si Tegap menggerayangi tubuh Lily. Dengan jelas aku
melihat tangannya meremas payudara Lily selama beberapa detik. Tangannya bergerak
ke bagian bawah tubuh Lily. Kemudian si Tegap berjongkok di belakang Lily dan
aku tak dapat lagi melihat apa yang dikerjakannya setelah itu. Lily memejamkan
matanya. Alisnya sedikit mengkerut.
Selama
sekitar 20 detik, aku tak berani memalingkan wajahku untuk melihat apa yang
dikerjakan si Tegap pada istriku. Lalu ia berdiri dan berkata pelan kepada si
Kumis (lagi-lagi aku tak dapat menangkap kata-kata yang diucapkan mereka).
Si Kumis
berkata-kata lagi diikuti dengan ditariknya celana dalamku ke bawah oleh si
Brewok. Belum sempat kaget, aku mendengar Lily menjerit kecil. Rupanya celana
dalamnya sudah ditarik ke bawah sampai ke lututnya, sama seperti yang dilakukan
si Brewok terhadap celana dalamku. Setelah itu si Tegap meraih kaitan di
belakang BH Lily dan melepaskannya dengan cepat. Si Tegap meraih BH itu dan
menariknya satu kali dengan keras sehingga lepas dari tubuh Lily.
Secepat
kilat Lily menutupi kedua dadanya. Aku pun menutupi kemaluanku. Kami berdua
berdiri tegang. Si Kumis berjalan perlahan menghampiriku lalu bergerak ke arah
Lily. Untuk beberapa saat ia hanya berdiri dan memperhatikan tubuh istriku. Aku
rasa, Lily mulai akan menangis.
Si Kumis
memberi isyarat kepada si Tegap. Lalu si Tegap menghampiriku dan berdiri
menantang di sampingku. Aku hanya melirik sekali dan mendapati wajahnya berubah
menjadi lebih kejam tiga kali lipat.
Sambil
mengatakan sesuatu, si Kumis mendorong pentungan hitam (yang biasa dibawa oleh
polisi) yang dipegangnya ke arah tangan Lily yang menutupi buah dadanya. Aku dapat
melihat istriku menjatuhkan kedua tangannya ke sisi tubuhnya. Si Kumis kembali
memandangi Lily dan kali ini pandangannya terkonsentrasi ke arah payudara
istriku.
Hampir
semenit penuh ia memandangi tubuh Lily. Lily hanya memejamkan matanya, mungkin
karena takut (atau malu?).
Dengan
menggunakan pentungan hitamnya itu, si Kumis menurunkan celana dalam Lily dari
lutut sampai ke mata kakinya. Lalu ia memaksa Lily untuk merenggangkan kakinya
sehingga mau tak mau ia melangkah keluar dari celana dalamnya.
Pada saat
si Kumis mulai menggerayangi payudara istriku, aku beringsut dari tempatku
untuk mencegahnya. Namun bukan aku yang mencegah perbuatan si Kumis, si Tegap
dibantu oleh si Brewok menahan tubuhku untuk tetap berdiri di tempat.
Aku
meneriaki si Kumis untuk menghentikan perbuatannya. Teriakanku disambut dengan
tamparan keras pada pipi kananku. Aku merasakan rasa asin yang kutahu berasal
dari darah yang mengalir dalam mulutku. Akhirnya aku hanya berdiri dan berdiam
diri.
Tak
beberapa lama setelah itu, si Kumis berjongkok di depan Lily sehingga aku tak
dapat melihat apa yang dilakukannya. Dari sudut pandangku, aku hanya dapat
melihat dari bayangan di cermin bagian belakang tubuh si Kumis yang sedang
berjongkok di antara kedua paha Lily.
Tidak
terdengar suara apa pun selain suara detak jantungku yang semakin keras dan
cepat. Lily tetap memejamkan matanya dengan alis sedikit mengkerut, sama
seperti tadi.
Lily tidak
mengeluarkan sepatah kata pun sejak tadi masuk ke dalam ruangan itu. Istriku
memang agak penakut dan kurang berani mengungkapkan pendapatnya pada orang
lain. Walaupun demikian, aku agak heran dengan sikap istriku saat itu yang
tidak memprotes sedikit pun atas perbuatan si Kumis terhadap dirinya. Atau
mungkin saja si Kumis tidak melakukan apa-apa saat itu, batinku.
Setelah
lima menit berlalu dalam keheningan, tiba-tiba istriku mengeluh (lebih
menyerupai mendesah), “Hhwwhhh…” Aku melirik ke arahnya dan mendapati ia tidak
lagi menutup matanya. Matanya agak membelalak dan mulutnya terbuka sedikit.
Setelah
itu, si Kumis berdiri dan menghampiri si Tegap. Ia memberi isyarat dengan
tangannya kepada si Tegap dan si Brewok untuk meninggalkan ruangan itu.
Aku yakin
(sangat yakin, untuk lebih tepatnya) bahwa aku melihat beberapa jari si Kumis
mengkilap karena basah. Hanya dengan melihat hal itu, cukup bagiku untuk
menduga apa yang telah dilakukan si Kumis terhadap istriku.
Si Kumis
berkata-kata kepada kami. Kali ini aku yakin ia mengatakannya dalam bahasa
inggris. Walau aku hanya dapat menangkap sepenggal kalimat (“may pass”), namun
aku yakin bahwa ia menyuruh kami mengenakan kembali pakaian kami dan
memperbolehkan kami untuk melanjutkan perjalanan kami.
Awalnya aku
tak mempercayai pendengaranku (dan tafsiranku terhadap kata-katanya). Namun
setelah mereka keluar dari ruangan itu dan meninggalkan kami berdua saja, aku
semakin yakin.
Aku
menyuruh Lily untuk mengenakan pakaiannya secepat mungkin. Dan ia mulai
menangis terisak-isak sambil mengenakan pakaiannya.
Setelah
selesai mengenakan seluruh pakaian kami, aku memeluk istriku yang masih
menangis. Dalam pelukanku tangisannya semakin menjadi. Aku hanya mengelus-elus
rambutnya dan menenangkan hatinya dengan mengatakan bahwa semua itu sudah
berakhir.
Sesampai
kami di hotel (di Orlando), Lily akhirnya menceritakan apa yang diperbuat si
Kumis terhadap dirinya. Ia bercerita bahwa sambil menjilati klitorisnya, si
Kumis menggesek-gesekkan jarinya ke kemaluan istriku. Pada akhirnya si Kumis
memasukkan satu – dua jarinya ke dalam liang kewanitaannya lalu mengocoknya
beberapa kali.
Lily
mengatakan bahwa dirinya merasa jijik atas perbuatan si Kumis. Setelah beberapa
saat, aku menanyakan padanya apakah ia terangsang saat itu.
Mendengar
pertanyaan itu, Lily langsung mencak-mencak dan mengambek. Dalam rajukannya, ia
menanyakan kenapa aku berpikiran seperti itu.
Aku
mengungkapkan bahwa aku melihat jari-jari si Kumis basah pada saat ia
menghampiriku sebelum keluar dari ruangan itu. Lily menjawab bahwa jari-jari
itu basah karena terkena ludah dari lidah yang menjilati klitorisnya. Karena
tak mau melihat dirinya merajuk lagi, akhirnya aku menerima penjelasannya dan
meminta maaf karena telah berpikiran seperti itu.
Sebenarnya di
dalam otak, logikaku terus berputar. Bagaimana mungkin ludah si Kumis dapat
membasahi sepanjang jari-jarinya itu, pikirku. Dalam hatiku yang terdalam
sebenarnya aku tahu bahwa jari-jari si Kumis bukan basah oleh ludah melainkan
oleh cairan yang meleleh dari kemaluan istriku.
Namun aku
menepis pendapatku itu dan tidak berniat membahasnya lagi dengan Lily agar kami
dapat menikmati sisa waktu kami di Amerika itu.
No Response to "Airport"
Posting Komentar